Sabtu, 01 Februari 2014

Keraguan Tes Sidik Jari


Prof. Dr. Sarlito Wirawan Sarwono (Foto: internet)
Koran Sindo, Minggu, 15 Mei 2011 – Setelah kasus Otak Tengah, yang akhir-akhir ini sering ditanyakan kepada saya adalah tentang tes Sidik Jari untuk mengetahui kepribadian anak.
Saya, yang sudah 43 tahun malang-melintang di dunia psikologi, belum pernah tahu sebelumnya tentang keberadaan tes tersebut dan tidak mau ambil pusing. Paling-paling penipuan lagi, pikir saya. Tetapi, beberapa hari yang lalu anak saya, yang kebetulan juga psikolog, bercerita kepada saya bahwa dia diajak temannya (baca: dikejar-kejar) untuk bergabung dengan usaha dia dalam usaha tes Sidik Jari. “Lumayan,” kata temannya itu. Captive market-nya ibu-ibu yang punya anak kecil dan sekolah-sekolah. Biayanya Rp500.000 per anak.

Sebagai psikolog profesional, anak saya meragukan validitas dan reliabilitas (keabsahan dan kesahihan) tes itu. Apalagi dengan job dan statusnya yang sudah mapan dan gajinya yang sudah berlipat-lipat di atas UMR, dia tidak mau ambil risiko. Karena itu, ia minta pendapat saya. Saya langsung saja menyatakan bahwa saya pun tidak percaya, tetapi saya penasaran. Maka saya pun browsing semua jurnal psikologi (hampir seluruh dunia yang berbahasa Inggris) yang bisa diakses oleh mesin searcher dari Asosiasi Psikologi Amerika (APA) di mana saya menjadi salah satu anggotanya.
Hasilnya menakjubkan, sekira 40.000 tulisan yang mengandung kata “finger print” Langsung saya cari judul-judul yang kira-kira terkait sidik jari dalam hubungannya dengan bakat, kepribadian, atau kecerdasan anak.
Hasilnya: NIHIL! Sedangkan kalau saya gunakan kata kunci Dermatoglyphic (Dermato artinya kulit, Glyphs artinya ukiran, jadi kulit yang berukiran) ada satu keluaran, yaitu tulisan berjudul “Neurodevelopmental Interactions Conferring Risk for Schizophrenia: A Study of Dermatoglyphic Markers in Patients and Relatives”, oleh Avila, Matthew T; Sherr, Jay; Valentine, Leanne E; Blaxton, Teresa A; Thaker, Gunvant K dalam Schizophrenia Bulletin, Vol 29 (3), 2003, halaman 595- 605. Jadi tulisan yang satu ini pun hanya tentang hubungan antara gejala sakit jiwa schizofrenia (dipercaya sebagai penyakit turunan) dengan pola sidik jari (juga merupakan bawaan).
Sebaliknya, dari Google, saya mendapat banyak sekali keluaran setelah memasukkan kata kunci “sidik jari”, bahkan ada website-nya. Hampir semua bercerita tentang keilmiahan metode analisis kepribadian dengan tes Sidik Jari ini. Bahkan ada iklan promo yang menawarkan tes Sidik Jari “hanya” Rp375.000 per anak. Sisanya adalah testimoni dari orang-orang yang pernah mencoba tes yang katanya pelaksanaannya sangat mudah. Sedangkan salah satu kalimat promosi mereka adalah bahwa “Analisis sidik jari memiliki tingkat akurasi lebih tinggi daripada metode pengukuran lain. Klaim akurasi 87%”. Luar biasa kalau tes itu benar.
Kalau seorang ibu sudah mengetahui seluruh “rahasia” kepribadian anaknya melalui sidik jari anak, dia tinggal ongkang-ongkang kaki dan dia hanya perlu mengatur anaknya sesuai petunjuk hasil tes Sidik Jari, dan anaknya akan menjadi orang yang pandai, jujur, kreatif, berbakti kepada orang tua, beriman, bertakwa, dan saleh. Lebih senang lagi anggota Densus 88. Mereka tidak perlu berpayah-payah lagi. Cukup dengan memeriksa sidik jari, mereka bisa mengidentifikasi pembom bunuh diri, menangkapnya, dan memasukkannya ke penjara.
Tetapi, faktanya kan tidak seperti itu. Upaya manusia untuk mempelajari jiwa sudah berawal sejak zaman Socrates, 400 tahun sebelum masehi, dan melalui perjalanan sejarah yang panjang sekali, serta mendapat masukan dari berbagai ilmu, termasuk ilmu faal dan kedokteran, serta matematika. Wilhelm Wundt baru menyatakan, psikologi sebagai ilmu yang mandiri pada 1879 di Leipzig, Jerman (versi Amerika oleh William James di sekitar tahun yang sama di Universitas Harvard). Pascakelahirannya, psikologi berkembang terus, termasuk mengupayakan berbagai teknik dan metode untuk mengukur berbagai aspek kepribadian, termasuk tes IQ, minat, sikap, bakat, emosi, dan seterusnya.
Kemajuannya sangat langkah-demi-langkah, tidak ada yang langsung meloncat, dan sebagaimana ilmu pengetahuan lainnya, setiap kemajuan, temuan atau kritik selalu dilaporkan dalam jurnal-jurnal dan seminar-seminar psikologi seluruh dunia. Karena itulah, langkah pertama saya adalah mengecek jurnal ilmiah psikologi untuk memastikan apakah tes Sidik Jari ini termasuk metode yang diakui dalam psikologi atau tidak. Sementara itu, teknik analisis sidik jari juga sudah berkembang sejak 1800-an. Pada 1880 Dr Henry Faulds melaporkan tentang sistem klasifikasi yang dibuatnya untuk mengidentifikasi seseorang.
Pada 1901 teknik yang disebut daktiloskopi ini digunakan di Inggris, 1902 di Amerika digunakan di kalangan pegawai negeri, 1905 di Angkatan darat AS, dan sejak 1924 mulai dipakai oleh FBI. Tetapi, semuanya untuk menentukan identitas fisik seseorang. Misalnya, apakah benar sidik jari yang ditinggalkan pelaku di TKP (tempat kejadian perkara) perampokan adalah milik si Fulan. Sebelum ditemukan sistem DNA, daktiloskopi-lah yang menjadi andalan polisi. Namun, di kemudian hari, teknik analisis Sidik Jari yang awalnya hanya untuk identifikasi fisik tampaknya berkembang menjadi teknik identifikasi psikis (kejiwaan) juga.
Ilmuwan Inggris Sir Francis Galton yang masih sepupu Sir Charlis Darwin adalah penganut teori evolusi. Dia percaya bahwa kepribadian ditentukan oleh bakat-bakat yang dibawa sejak lahir dan bakat-bakat itu terukir di sidik jari setiap orang. Maka ia menerbitkan buku Finger Prints (1888) dan memperkenalkan klasifikasi sidik jari yang dihubungkan dengan klasifikasi kepribadian. Pasca-Galton tampaknya dermatoglyphs semakin berkembang dan diyakini sebagai ilmu pengetahuan yang sahih, lengkap dengan buku-buku, dan jurnal-jurnal “ilmiah” mereka sendiri. Kalau kita cari di Google, dengan kata kunci dermatoglyphs akan keluar lebih dari 70.000 informasi, tetapi semuanya diluar komunitas ilmu psikologi.
Dengan demikian, dermatoglyphs sebenarnya pseudo science (ilmu semu) dari psikologi. Ilmu semu lain dalam psikologi yang banyak kita kenal adalah astrologi (banyak di majalah- majalah wanita dan remaja, tetapi tidak pernah ada di koran SINDO), palmistri (ilmu rajah tangan, yang ketika saya mahasiswa sering saya pakai untuk merayu mahasiswi-mahasiswi Fakultas Sastra sambil meraba-raba tangannya), numerologi (meramal atau menjodohkan orang dengan menggunakan angka-angka tanggal lahir dsb), tarrot (dengan menggunakan kartu-kartu), dan masih banyak lagi.
Semua itu mengklaim diri sebagai ilmu, lengkap dengan literatur dan teknik masing-masing, dan memang tampaknya sahih dan canggih betul (ada yang putus dari pacar gara-gara bintangnya tidak cocok). Tetapi, ada satu hal yang tidak bisa dipenuhi oleh semua ilmu semu, yaitu tidak bisa diverifikasi teorinya. Dalam Astrologi misalnya tidak pernah bisa dibuktikan hubungan antara singa yang galak dan bintang Leo. Apalagi membuktikan manusia berbintang Leo dengan sifatnya yang galak (banyak juga cewek Leo yang jinak-jinak merpati,loh!).
Dalam hal ilmu sidik jari sama saja. Tidak bisa diverifikasi bagaimana hubungannya antara sidik jari (bawaan) dan sifat, minat, perilaku, apalagi jodoh dan karier, bahkan kesalehan seseorang yang merupakan hasil dari ratusan variabel seperti faktor sosial, ekonomi, budaya, pendidikan, lingkungan alam, dan sebagainya, walaupun termasuk sedikit faktor bawaan. Pandangan bahwa kepribadian ditentukan oleh faktor bawaan (nativisme) sudah lama ditinggalkan psikologi.
Teori yang berlaku sekarang adalah bahwa kepribadian ditentukan pengalaman yang diperoleh dari lingkungan. Karena itu, untuk memeriksa itu diperlukan proses yang panjang (metode psikodiagnostik, assessment) dan duit yang lumayan banyak. Karenaitu, saya tidak pernah menyarankan orang untuk ikut psikotes kalau hanya untuk ingin tahu. Buang-buang duit. Tetapi lebih sia-sia lagi kalau buang duit untuk tes Sidik Jari.
SARLITO WIRAWAN SARWONO
Guru Besar Fakultas Psikologi UI

Tidak ada komentar:

Posting Komentar